Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.




Pada suatu hari Rasulullah SAW diundang makan ke rumah seorang Sahabat. Ketika beliau dan para Sahabat berjalan menuju rumah orang yang mengundang makan itu, beliau melihat Husain sedang bermain-main dengan anak-anak di tengah jalan. Beliau ingin bergurau dengan Husain, maka beliau berjalan lebih cepat sehingga beliau agak ke depan dibandingkan rombongannya. Ketika tiba dekat Husain, beliau membuka kedua tangannya sambil mengisyaratkan agar Husain melompat kepadanya. Lalu Husain melompat ke arah beliau dan beliau tersenyum sambil mendekap dan mencium Husain sambil bersabda: "Husain sebagian dari diriku, dan aku sebagian darinya. Allah mengasihi orang yang mengasihi Husain. " Demikian sepenggal kisah tentang sayangnya Rasulullah Saw, kepada cucunya Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.
Husain bin Ali ra. dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ke-4 Hijriyah. Kemudian Rasulullah Saw men-tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya), mendoakan dan menamakannya Husain. Ia sangat dihormati oleh kaum syiah, karena termasuk Imam Syi’ah yang ke-3 setelah Ali bin Abi Thalib ra. (ayahnya) dan Hasan bin Ali ra. (kakaknya). Ia juga dihormati oleh Kaum Sunni, karena termasuk Ahlul Bait. Dan ia juga dihormati oleh para penganut aliran Tasawwuf salah satunya ialah Thariqat Qadariyah, karena merupakan sanad mursyid setelah Ali bin Abi Thalib.
Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Tepatnya Pada hari Jum’at, tanggal 10 Muharram 61 H / 10 Oktober 680, dalam usia 54 tahun 6 bulan. Wafatnya sangat tragis karena kepalanya dipenggal dan dibawa oleh pasukan Bani Umayah untuk diserahkan kepada Ubaidillah bin Ziyad sebagai gubernur Kufah. Perayaan kesyahidannya diperingati setiap Hari Asyura dan pada hari itu kaum Muslim Syi'ah bersedih, dan berkumpul di padang Karbala. Pada hari itu hampir semua sahabat Husain bin Ali ra. syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah Yazid di Damaskus, dan kemudian mereka dikembalikan ke Madinah.
Ibnu Taimiyah berkata: "Husain terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain. Kemudian disebutkan pula dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Dia menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana.
Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan ​​dan pengada-adaan riwayat tersebut.
Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidilah bin Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husain) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu. Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Irak ketika itu."
Husain tewas di Karbala, Irak, di tangan tim utusan gubernur Irak di bawah pemerintahan khalifah Yazid bin Muawiyah yang ia tentang. Bagi kaum Syi'ah, tewasnya Husain adalah sebuah martirdom, kesyahidan. Lantas sejarah bergulir, peristiwa Karbala menjadi semacam pemicu oposisi Syi'ah terhadap rezim Sunni berabad-abad setelahnya. Sementara itu mitos-mitos terus berkembang, Yazid bin Muawiyah sering digambar sebagai seorang diktator lalim, bengis dan suka mabuk. Bagaimana kita mendudukkan hal ini?
Pertanyaan seputar apakah penghadangan dan penyerangan terhadap Husain dapat dibenarkan menyeret kita pada catatan sejarah sebelum tragedi Karbala. Banyak versi seputar hal ini, namun mari kita sepakat pada fakta-fakta yang disepakati oleh semua versi itu. Husain dan para pendukungnya pergi ke Kuffah dari Mekkah karena dijanjikan dukungan baiat dari rakyat Irak. Sebelumnya, di Madinah Husain menolak ajakan gubernur untuk membaiat Yazid yang naik tahta kekhalifahan setelah ayahnya, Muawiyah, mangkat.
Sementara umat Islam yang lain sudah membaiat Yazid, beberapa sahabat Nabi saw seperti Husain dan Ibnu Zubair bersikap membangkang. Husain lalu hijrah ke Mekkah. Dua bulan setelah hijrah ia dikirimi ratusan surat dari penduduk Irak yang menyatakan siap membaiatnya. Artinya, Husain ingin diangkat menjadi khalifah guna mendeligitimasi kepemimpinan Yazid. Yazid mengintruksikan gubernur Irak, Ubaidullah bin Ziyad untuk mengirim pasukan menghadang laju Husain. Husain terhenti di tempat bernama Karbala, dan terjadilah tragedi itu.
Dalam kacamata hukum Islam, penghadangan seperti ini bisa dibenarkan karena konsep kepemimpinan dalam Islam menghendaki kesatuan khilafah. Nabi saw melarang berbilangnya khalifah lewat haditsnya yang dengan tegas memerintahkan membunuh khalifah yang kedua jika pada saat yang hampir bersamaan diangkat dua orang khalifah, Bila dibai'at dua orang khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang (dibai'at) terakhir dari keduanya (HR Muslim). Rasul saw juga bersabda, ".... Maka ketika ada orang lain yang ingin merampas (kekuasaan) darinya (imam yang dibai'at), maka penggallah oleh kalian leher orang tersebut."
Jika kita anggap Husain belum menjadi khalifah saat penyerangan itu terjadi, ia masih berlaku hukum bughat (tindak pembangkangan terhadap khilafah yang sah). Dalam hukum Islam, pelaku bughat diperangi sampai mereka mau tunduk lagi, sebagaimana Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah memerangi kelompok khawarij. Jadi penyerangan terhadap Husain dapat masuk dalam konteks ini.
Namun, orang-orang yang membela Husain mempertanyakan: apakah pemerintahan Yazid itu sendiri legal/absah sampai ia memperoleh legalitas untuk bertindak selaku kepala negara yang memadamkan pemberontakan? Untuk menjawab hal ini kita harus kembali ke belakang, ke masa di mana Muawiyah mengangkat Yazid kecil untuk dibaiat. Orang-orang menganggap Muawiyah telah memulai tradisi monarchi yang tidak diajarkan dalam politik Islam, atau merebut kekhalifahan dari "tangan yang sah", meski sejarah mencatat Hasan bin Ali, saudara Husain, menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah secara sukarela.
Namun, bagaimanapun Yazid mendapat baiat dari representasi umat, sedangkan bai'at adalah stempel legal seorang khalifah. Dhiyauddin ar Rais dalam Teori Politik Islam mengisahkan bahwa kala itu Muawiyah mengumpulkan para gubernur guna mendapatkan baiat untuk Yazid.
Meski baiat baru sah jika khalifah yang lama sudah lengser, namun "baiat putra mahkota" ini menunjukkan kesiapan mereka untuk membaiat (dalam makna sebetulnya) Yazid nantinya jika ayahnya sudah mangkat. Dan, benar, Yazid mendapat baiat sebagai khalifah usai mangkatnya sang ayah. Dengan logika seperti ini maka siapapun yang bughat terhadapnya dikenai sanksi berupa diperangi hingga kembali tunduk. Dalam kerangka inilah penyerangan terhadap Husain dapat dipahami.
Lantas, apakah ini berarti Husain dapat disematkan status pemberontak? Kenyataannya tidak semudah dan sehitam putih itu. Konflik yang terjadi kala itu lebih luas dari kata "memberontak" dan melampaui konteks baiat rakyat Irak. Apa yang Husain lakukan berakar dari masa lalu, ia mempermasalahkan perlakuan Muawiyah terhadap ayahnya, Ali ra, dan penyelewengannya terhadap kaidah dalam Islam. Maka, "pemberontakan" Husain hanya dapat masuk akal jika kita menganggapnya sebagai sebuah respon moral atas penyimpangan yang ada. Tetapi, penyimpangan yang mana?
Seperti dikemukakan di atas, Muawiyah dianggap telah memulai tradisi monarki. Sebagian sahabat Nabi saw mempermasalahkan hal ini. Ketika Muawiyah meminta baiat untuk putranya, Abdurrahman putra Abu Bakar berkata, "Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar! Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan khilafah kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya. "
Abdullah putra Umar bin Khathab memiliki sikap yang sama. Begitu juga Abdullah bin Zubair. Jadi putra-putra dari para sahabat besar menyangkal tindakan Muawiyah ini. Sistem monarki yang dirintis Muawiyah bisa disebut bid'ah dalam kacamata politik Islam. Padahal, sejak pagi Islam mewariskan tradisi musyawarah, sebagaimana ketika umat memilih Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Nabi saw.
Sejak era Muawiyah, khilafah menjadi milik satu dinasti. Teori politik Islam yang mengajarkan musyawarah ditambahkan keyakinan tentang keutamaan kepemimpinan ahlul bait (keluarga nabi, dan Abu Bakar dan Umar, serta anak-anak mereka masuk dalam keluarga Nabi), menyebabkan secara sederhana dikatakan bahwa Muawiyah, dan juga dinasti yang ia bangun, telah menyelewengkan dan merebut kekuasaan dari pihak yang seharunya. Dengan alasan moral untuk melakukan reformasi terhadap kesewenang-wenangan, bukan semata alasan kekuasaan, Husain bangkit melakukan perlawanan. 
Murtadha Muthahari, seorang ulama Syi'ah, secara ideologis menuturkan semangat reformis Husain "Berkenaan dengan penuntutan baiat yang sejak awal ditolak mentah-mentah oleh Imam Husain as., Faktor ini memberi bobot arti yang lebih besar pada kebangkitan Husaini ketimbang arti undangan" (baiat dari rakyat Irak). 
Karena, faktor ini telah muncul sejak awal, sebelum ada satu orangpun yang menyatakan dukungan dan kesiapannya untuk bangkit bersama beliau. Pemerintahan yang diktator, yang telah mengoptimalkan kekerasan selama dua puluh tahun di bawah kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan, sekarang menuntut baiat dari Husain bin Ali dalam situasi yang sangat sulit itu. Dari sudut pandang inilah kita menyaksikan bagaimana Imam Husain ra. seorang diri menentang tuntutan ilegal penguasa yang betul-betul dzalim dan sewenang-wenang, di saat belum ada satu nama pun yang bisa didaftar sebagai pendukungnya."
Meski, dalam pandangan Dhiayuddin ar-Rais, penunjukkan Muawiyah terhadap Yazid dapat dimaklumi, sebagai upaya stabilisasi politik. Muawiyah khawatir situasi politik akan kacau jika bola kekhalifahan dilempar begitu saja ke khalayak sepeninggalnya. Tanggal Daulah Umawiyah terbitan Jami'atul Imam Muhammad bin Su'ud Al-Islamiyah menuturkan bahwa Muawiyah khawatir fitnah akan terulang dan babak baru pertumpahan darah akan terjadi. Maka, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Muawiyah pernah berdoa ... "Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku mengangkatnya sebagai penguasa berdasarkan pengetahuanku bahwa dia (Yazid) adalah orang yang pantas memimpin, maka luluskanlah pengangkatan ini. Dan apabila Engkau mengetahui bahwa aku mengangkatnya berdasarkan kecintaanku kepadanya, maka jangan Engkau luluskan ... "
Memang, di kemudian hari lembaran sejarah kepemimpinan Yazid banyak diwarnai konflik. Di antaranya, ketika penduduk Madinah melepaskan baiat terhadap Yazid dan Ibnu Zubair mengklaim sebagai khalifah, pasukan Yazid diutus untuk memadamkan pemberontakan dan terjadilah pertumpahan darah di Tanah Suci.
Namun, kalangan ahlus sunnah tidak lantas menganggap peristiwa ini sebagai delegitimasi Yazid sebagai khalifah. Dalam Majmu 'Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan sikap ahlus sunnah terhadap Yazid bin Mu’awiyah, "....Mereka (para imam ahlus sunnah) tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar. Artinya, dapat diakui bahwa Yazid telah menyesal, namun di mata Sunni Yazid sah dan legal sebagai khalifah".
Jika demikian adanya, Absahkah Pembunuhan Terhadap Husain? Sampai titik ini, kita menemukan kenyataan bahwa tidak ada status tegas tentang aksi politis Husain ini yang dapat memuaskan kedua pihak. Baik yang bersikap mengizinkan penyerangan terhadap Husain maupun yang mengizinkan pemberontakannya memiliki landasan berdasar sudut pandang masing-masing.
Secara hukum, Husain memang dapat dikenai pasal bughat, oleh karenanya harus diperangi. Namun secara moral, pemberontakan Husain adalah sebuah upaya perbaikan terhadap situasi dan perlawanan terhadap kezaliman. Kedua sikap ini memiliki dasar dalam agama. Jadi, untuk menentukan apakah Husain bin Ali itu pahlawan atau pemberontak, semua tergantung asumsi. Maksudnya, apa yang terjadi seandainya Husain berhasil dibaiat sebagai khalifah dan mendelegitimasi Yazid? Jika ia kelak sebagai khalifah berhasil mengembalikan kekhalifahan pada tradisi musyawarah, alih-alih monarki, maka Husain dapat dianggap sebagai pahlawan. 
Namun, jika dengan diangkatnya ia sebagai khalifah mengakibatkan instabilitas dan kekacauan yang akan mengguncang dunia Islam dari Afrika Utara sampai perbatasan India, karena adanya dualisme kepemimpinan, maka tidak berlebihan jika status "pemberontakan yang membahayakan stabilitas negara" disematkan pada gerakan Husain.
Hanya saja, kita tidak tahu, andai kata pun Husain menjadi khalifah, akankah pengikutnya mendesak agar sepeninggalnya putranyalah yang menggantinya sebagai khalifah sampai membentuk dinasti tersendiri (sebutlah Dinasti Hussaini atau Alawiyah-karena keluarga Ali)? Berikut ini sebuah pertanyaan yang masuk akal.
Yang pasti, pada kedua pihak yang berhadap-hadapan itu, tidak ada kesalahan yang murni kejahatan. Yang tersisa tinggalah kasus pembunuhan, karena jelas membunuh Husain bukanlah agenda Yazid. Tanggal Daulah Umawiyah mengisahkan bahwa ketika Husain dan pengikutnya dihadang oleh pasukan Umar bin Sa'd bin Abi Waqash, utusan gubernur Irak Ubaidullah bin Ziyad, Husain mengajukan perdamaian. Ia mengatakan, "Pilihlah salah satu dari tiga pilihan yang aku ajukan: aku kembali ke tempat aku datang darinya, atau aku meletakkan tanganku (baiat) terhadap Yazid lalu ia akan menentukan pendapatnya, atau kalian menempatkan aku di perbatasan kaum muslimin yang kalian inginkan (untuk berjihad di bawah komando Yazid). Aku menjadi bagian umat Islam di sana dan memiliki hak dan kewajiban yang sama."
Baik Umar bin Sa'd maupun Ibnu Ziyad senang dengan opsi ini. Bahkan Umar bin Sa'd shalat di belakang Husain. Perang nyaris berhenti kalau saja tidak ada bisikan dari seorang provokator bernama Syamr bin Dzil Jusyan yang menghasut Ibnu Ziyad untuk menghabisi Husain. 
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menuturkan kisah yang sama namun menyebutkan nama Samardzi Al-Juyush sebagai provokatornya. Singkat cerita, Husain dibunuh dan kepalanya dibawa ke hadapan Yazid. Seketika Yazid menangis sedih sambil berkata, "Sebenarnya aku telah senang terhadap ketaatan kalian tanpa pembunuhan terhadap Husain. Akan tetapi semoga Allah melaknat Ibnu Sumayyah (Ibnu Ziyad). Demi Allah, kalau saja aku yang menghadapinya (Husain), maka sungguh aku akan memaafkan mereka. "
Kebaikan Yazid ditampilkan dengan merawat wanita dan anak-anak dari rombongan Husain. Bahkan Yazid memberi mereka harta dan mengembalikan mereka ke Madinah. Memang, tidak ada catatan bahwa Yazid kemudian menghukum si pembunuh, sebagai bentuk ketidak setujuannya pada pembunuhan Husain. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri.
Adapun pelajaran yang kita dapat dari Tragedi Karbala, ialah bahwa hal itu merupakan sebuah takdir dari Allah Swt, kejadian Karbala bukanlah bahan kutukan atau persetujuan. Sebagai umat, yang dapat kita lakukan adalah mengambil pelajaran dari peristiwa itu. Drama Karbala mengingatkan kita sikap yang tegas dalam menjaga kesatuan khilafah. Hatta pedang harus siap terhunus untuk membela kesatuan khilafah.
Drama ini juga menunjukkan berjalannya tata politik Islam, ketika sang khalifah menjalankan kebijakan yang benar terhadap pembughat, yaitu dengan memeranginya. Hukum bughat menjadi penjaga kesatuan khilafah di masa lalu, dan akan terus terjadi di masa depan.
Di sisi lain, Husain bin Ali memperlihatkan keberanian seorang muslim melawan apa yang dianggapnya salah. Penyelewengan Bani Umayah ia hadapi secara berani walau harus membuat hilangnya nyawa sebagai resikonya. Ini juga membuktikan bahwa sebuah tradisi yang salah akan menjalarkan fitnahnya ke banyak hal: monarkisme khilafah adalah sesuatu yang sejatinya tidak bisa terulang di masa depan.
'Ala kulli hal, penyimpangan dan penyelewengan adalah hal yang inheren pada manusia. Bagaimanapun, negara Islam adalah negara manusiawi, bukan negara Ilahi. Di wilayah inilah kita memahami makna amar ma'ruf Nahyi munkar dan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Sistem Islam membuka ruang aspirasi yang luas untuk koreksi, melembagakan musyawarah dan memberlakukan egalitarianisme pada seluruh rakyat. Penyimpangan dalam terjadinya kaidah-kaidah ini adalah juga "PR abadi" umat Islam, agar kita terus belajar dan dikuatkan dengan cobaan-cobaan itu. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar